Arsip Tag: Irul durian

Saya mengenalnya pertama kali 5 tahun yang lalu. Saat itu bersama pekebun buah tin di Yogya, kami mendatangi rumahnya di Dusun Kebonkliwon, Kelurahan Kebonrejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Bisa dikatakan, sosoknya yang memberi warna pada dusunnya menjadi seperti sekarang ini. Dikenal sebagai sentra bibit buah dan tanaman di seluruh Indonesia.

Ketika saya menghubunginya, Minggu (28/3/2021) yang pertama saya tanyakan bagaimana kabar pohon durian Musang King di rumahnya. Tentu saja ini bercanda. Saya bertanya tentang kondisinya dan keluarganya. Juga bertanya, kapan wawancaranya dengan Andi F Noya di acara Kick Andy akan tayang di Metro TV.

Terakhir saya jumpa darat dengan Muh Khoirul Saleh atau akrab dipanggil Irul ini tiga tahun lalu. Karena lekatnya dia dengan nama dusunnya, laki-laki yanglahir 5 Januari 1975 ini juga dikenal  dengan nama Irul Kebonkliwon.

“Sudah habis. Kemarin juga ada yang duri hitam, koe ra rene,” jawabnya tertawa ketika saya tanya kabar durian Musang King di kebunnya. Setahun lalu, situasi pandemi membuat saya tidak berani kemana-mana. Tiga tahun lalu ia menunjukan pohon durian Musang King yang usianya baru tiga tahun di kebunnya sedang belajar berbuah. Durian khas Malaysia yang karena enaknya dihargai selangit itu, oleh petani-petani Kebonkliwon berhasil diperbanyak dengan mudah.

Saya hakul yakin, bibit-bibit durian yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia itu sebagian berasal dari kampung ini. Petani di Kebonkliwon sangat hebat dalam melakukan okulasi. Okulasi adalah peningkatan kualitas mutu tanaman dengan cara menempelkan kulit pohon dengan mata tunas ke pohon yang lain. Hasilnya, tanaman yang memiliki perpaduan sifat unggul serta cepat berbuah.

Soal kehebatan petani di Kebonkliwon dalam melakukan okulasi itu saya punya cerita. Sekitar lima tahun lalu, demam buah tin atau juga disebut buah ara, ‘kelas ningrat’ alias yang berharga mahal sedang banyak peminatnya. Petani di Kebonkliwon mengimpor batang atau ranting pohon tin yang panjangnya tak lebih dari 10 cm, dengan 3-5 mata tunas. Impornya pun dari negara-negara empat musim di Eropa, misalnya Spanyol.

Tentu saja harganya jutaan rupiah. Sampai di Kebonkliwon, mata tunas yang ada kemudian di tempel di pohon tin kelas ‘jelata’ yang harganya puluhan ribu rupiah. Dan ketika tunas tersebut tumbuh menjadi tanaman baru, maka akan mewarisi gen ‘kelas ningrat’. Harga jualnya juga menjadi berkali lipat dari yang jenis kelas rakyat jelata.

Saya ada guyonan, ibaratnya ada ranting tanaman langka yang patah lantas jatuh di depan orang-orang Kebonkliwon, tidak berapa lama tanaman itu akan menjadi banyak.

“Minimal di sini tiap orang sehari bisa melakukan 200-an okulasi, kalau yang sudah ahli bisa melakukan 500 okulasi setiap hari,” kata Irul waktu itu.

Sekarang, sentra penjualan bibit tanaman tidak lagi hanya di Kebonkliwon saja tapi meluas se-kecamatan Salaman, Magelang. Ini tidak lepas dari sentuhan Irul yang mengenalkan jualan online ke masyarakat Kebonkliwon.

Berawal tahun 2010

Tahun 2010 adalah titik balik kehidupan Irul dalam memulai bisnis tanaman. Waktu itu, Irul merasa hidupnya tidak tenang. Waktunya habis di jalan karena ikut multi level marketing (MLM). Ia pindah haluan dengan mencoba trading forex. Tapi hati suami dari Dewi Eliyana dan ayah Habibul Haq Kadvi, Nayla Bilqis maritza’adah dan Shaqila Almahira Padmasari justru selalu tegang. Hidupnya tidak tenang.

Ketika pulang ke kampung halamannya di Kebonkliwon ia melihat potensi jual beli bibit tanaman yang sudah ada sejak ia kecil. Saat itulah ia berpikir untuk membuka usaha yang memungkinkan ia bisa bertemu dengan anak istrinya setiap hari, sekaligus memberikan ketenangan batin.

Awalnya ia berjualan bibit secara konvensional. Kemudian seorang kawan di Semarang mengenalkannya jualan online melalui media sosial terutama Facebook, Twitter serta melalui blog. Irul membutuhkan waktu 6 bulan sampai kemudian ada yang membeli bibit tanamannya. “Saya ingat, itu bulan November 2010, ada 10 bibit buah yang terjual,” kata Irul.

Irul belajar terus bagaimana agar jualan lewat online bisa efektif. Saat itu, hanya dia di Kebonkliwon yang jualan memanfaatkan media sosial. Pesanan kian laris dari berbagai daerah. Namun, ia juga pernah ditipu oleh pembeli. Sebanyak 10 ribu bibit tanaman tidak dibayar oleh pembeli, yang dibayar ongkos transportasinya saja.

Bermaksud menyelesaikan masalah tersebut, Irul mendatangi rumah pembeli yang ada di luar kota. Namun, ia terkejut karena rumah pembeli bibit tanamannya memprihatinkan. Ia tidak jadi menagih, justru memberikan uang saku untuk anak orang yang menipunya itu.

Melihat potensi jualan online yang menggiurkan, Irul kemudian mengajak anak muda di kampungnya belajar jualan online. Ia melihat anak-anak muda cuma nongkrong di pos ronda. Awalnya sangat sulit. “Mereka lebih suka kerja harian di sawah, karena langsung dapat bayaran, sementara jualan lewat online belum tentu laku,” katanya.

Dengan sabar, Irul membimbing teman-temannya. Ia cuma meminta mereka memotret bibit tanaman. Lewat akun facebooknya, foto bibit buah itu ia tawarkan. Ternyata langsung laku. Mulai dari situ, anak-anak muda di tempat itu tertarik untuk jualan online. Sekarang masih banyak orang-orang di Kebonkliwon yang nongkrong sambil pegang hape. Namun, mereka bukan sedang main game, tapi sedang menawarkan jualannya.

“Sekarang malah sulit cari tenaga di sawah untuk menyiapkan bibit tanaman karena kebanyakan mereka milih jualan online,” kata Irul tertawa. Demam jualan online bibit tanaman itu bukan hanya terjadi di Kebonkliwon, sekarang menjalar ke seluruh Kecamatan Salaman yang terdiri 20 desa. Tiga tahun lalu, Irul mendata, di Kebonkliwon ada 100 orang yang berjualan secara mandiri. Jika digabung dengan dusun-dusun sekitarnya ada 200 penjual. Maka sekarang ia memastikan jumlah orang yang jualan bibit tanaman lewat online berkali lipat.

Para penjual tanaman itu, tidak perlu repot-repot datang ke tempat ekspedisi untuk mengantar tanaman. Justru berbagai jasa ekpedisi yang datang menjemput tanaman yang akan dikirim. Penjual tanaman berasal dari beragam usia. Saya melihat misalnya seorang ibu yang menenteng dua tanaman buah di kedua tangannya membawanya ke tempat packing sekaligus tempat ekspedisi mengambil tanaman.

“Sekarang bahkan ekspedisi datang dengan truk dan mengantar hanya ke satu daerah, misalnya ada truk yang langsung mengantar ke, Jambi, Jawa Barat, Medan, ke satu daerah saja, karena pesanan ke daerah itu memang banyak,” kata Irul. Salah satu kenaikan taraf hidup masyarakat di Kebonkliwon terlihat saat belum pandemi Covid 19. Irul dan teman-temannya banyak menggelar kegiatan yang berhubungan dengan tradisi. Biayanya didapatkan dari gorong royong penjual bibit tanaman di kampungnya.

Coba tanaman vanili dan tanaman padi di paralon

Awal-awal pandemi, Irul sempat membuat heboh karena ia menanam padi dengan metode yang hidroganik , yaitu perpaduan hidroponik dan tanpa bahan kimia, atau organik di atas kolam ikannya. Kolam itu sebenarnya untuk menampung air yang digunakan untuk menyiram berbagai jenis tanaman di sekitar rumahnya. Hasilnya cukup bagus, sehingga banyak mahasiswa yang datang ke rumahnya untuk belajar.

“Saya hanya ingin menunjukan, jangan sampai kita punya lahan itu kosong, tidak bisa dimanfaatkan,” kata Irul.

Saat ini, Irul tengah merintis program penanaman vanili, tanaman menjalar berbentuk polong, berisi biji harum yang dikeringkan sebagai pengharum makanan. Tanaman ini dijuluki juga dengan emas hijau karena harganya yang mahal. Irul berharap di desa-desa warga menanam tanaman ini di lahan kosong dekat rumahnya. Tanaman ini tidak membutuhkan lahan yang luas. Bisa ditanam di samping rumah, depan rumah, belakang rumah bahkan atap rumah.

Di rumahnya ia sedang membuat kebun percontohan. Bekerjasama dengan instansi pertanian di Magelang, ia tengah menanam 100 bibit. Rencananya dari 100 bibit tersebut  akan menghasilkan bibit-bibit yang lebih banyak dan akan dibagikan ke masyarakat di Salaman.

Ia berharap tanaman itu bisa jadi tabungan warga. “Sekilo vanili basah harganya Rp 300 ribu, kalau kering sekilo bisa Rp 6 juta. Orang-orang bisa menanam di kebunnya yang kecil.  Kalau panen bisa tidak langsung dijual, tapi disimpan, kalau butuh uang baru dijual,” kata Irul yang belajar vanili dari temannya di Temanggung. Ia ingin suatu hari, Salaman bisa jadi salah satu sentra vanili.

Negara kuat berawal dari desa

Saya bertanya kepada Irul, sebenarnya dengan segala kesuksesan yang sudah didapat, apa yang masih ia cari. Secara pribadi, Irul merasa sudah cukup dari bisnis bibit tanaman buah maupun tanaman langka yang banyak ia koleksi dari rumahnya. Namun ia melihat sesuatu yang lebih luas, nasib desa ke depan. Ia yakin kekuatan negara itu ada di desa. Jika desa kuat, negara pasti kuat. Jika masyarakat di desa punya pendapatan cukup, maka itu menjadi kekuatan ekonomi nasional. “Saat pandemi datang, desa bisa dikatakan tidak terpengaruh sama sekali karena kebanyakan hidup dari pertanian. Permintaan produk pertanian dan peternakan tidak turun,” katanya.

Karenanya ia punya cita-cita, lahan-lahan kosong di manapun sebaiknya ditanami. Kalau ada yang punya lahan kosong, tanah itu bisa dipasrahkan ke tetangga atau teman untuk diolah sehingga tetap memberikan pendapatan dan bermanfaat.

Ia sendiri sudah memulai dengan mengajak orang-orang yang punya lahan kosong dikerjasamakan dengan sharing profit. Irul dan teman-temanya yang sudah berpengalaman akan menggarap lahan tersebut sehingga bisa memberikan tambahan pendapat kepada pemilik lahan. Saat ini sudah ada beberapa desa yang melakukan kerjasama dengan Irul. Seperti yang ia kemukakan, ia berharap negara kuat karena desa yang siap dan kuat

Sampaikan Pesan Ketahanan Pangan Lewat Pentas “Jagad Anyar”

Sampaikan Pesan Ketahanan Pangan Lewat Pentas “Jagad Anyar”

MAGELANG – Para seniman di areal tanaman padi hidroganik Dusun Kebonkliwon, Desa Kebonrejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menyajikan pertunjukan seni bertajuk “Jagad Anyar”, Minggu, 21 Juni 2020. Pentas ini membawa pesan tentang pentingnya ketahanan pangan di tengah pandemi COVID-19.

Para seniman dalam jumlah terbatas yang terlibat dalam performa seni tersebut, antara lain dari kelompok Gadung Mlati Merapi pimpinan Ismanto, Sanggar Dua Atap Ngluwar pimpinan Dharma Wijaya, dan Sanggar Warangan Merbabu pimpinan Handoko.

Selain itu, pelukis I Made Aryo Dedok dan Agus Daryanto, menyajikan karya masing-masing berjudul “Ojo Lali Masker” dan “Gerobak Urip” di area pembibitan tanaman, terutama buah-buahan, yang dikelola Muh Khoirul Soleh (Irul) di pekarangan rumahnya di dusun Kebonkliwon.

Hadir pula budayawan Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Sutanto Mendut.

Dalam pentas sederhana ini, para seniman mengenakan berbagai kostum, properti kesenian, lengkap dengan masker.

Para seniman bergerak mengelilingi areal kecil tanaman padi hidroganik di atas kolam ikan. Menari sambil membawa dupa, mengusung bibit tanaman, pembacaan puisi, melantunkan tembang langgam jawa dengan iringan siter dan rebab, serta pidato kebudayaan oleh budayawan Sutanto Mendut.

Penggagas acara yang juga pemilik kebun bibit buah-buahan di dusun setempat yang saat ini juga mengembangkan budi daya padi secara hidroganik, Irul, mengatakan “Jagad Anyar” artinya dunia baru yang bermakna tentang normal baru di tengah pandemi COVID-19.null

“Persoalan kebutuhan pangan saat pandemi corona ini, juga tidak lepas dari upaya membangun ketahanan pangan. Pentas ini disajikan untuk menyampaikan pesan untuk itu. Ketahanan pangan harus dibangun secara bersama-sama,” ujar dia kepada Antara.

Ia menyebut kebutuhan pangan tidak hanya terkait dengan beras atau padi, tetapi juga berbagai bahan pangan lainnya. Seperti pala kependem, sayuran, dan buah-buahan sebagai kebutuhan sehari-hari masyarakat.

Oleh karena itu, ucap dia, sektor pertanian juga harus mendapatkan perhatian berbagai pihak agar tetap berproduksi secara optimal di tengah pandemi.

Budaya Petani

Budayawan Sutanto Mendut menyebut performa “Jagad Anyar” sebagai bagian dari cara berpikir tentang normal baru. Yang memiliki kaitan erat dengan petani dan kebudayaannya.

“Berpikir peradaban dan kebudayaan itu penting, juga bagi petani di tengah pandemi COVID-19. Saya hendak menegaskan bahwa (Komunitas, red.) Lima Gunung juga harus belajar, setiap hari sudah petani, tetapi petani yang harus belajar keilmuan,” ujar dia.

Ia juga mengemukakan tentang seniman yang tetap berkarya dalam situasi apapun, termasuk pandemi virus yang justru memberikan inspirasi menarik untuk melahirkan suatu karya penting bagi perkembangan kebudayaan.

“Tuhan ‘ngasih’ (memberi) cara berpikir, bukan ‘ngasih beras’, bukan ‘ngasih’ festival, bukan ‘ngasih’ cara-cara berkesenian. Tuhan itu ‘ngasih’ manusia untuk peradaban, untuk kebudayaan, untuk padi, untuk petani, ketahanan pangan, dan sebagainya,” katanya.

Ia mengemukakan pentingnya pengembangan kebudayaan pangan agar terwujud ketahanan pangan yang mantap, sebagaimana pesan di balik performa “Jagad Anyar” dilakukan para seniman di tengah pandemi COVID-19 tersebut.

Ia juga menyebut tentang kesenian yang juga sebagai bagian dari normal baru, antara lain menyangkut disiplin waktu para seniman dalam menyajikan karya seni dan kerja sama dengan pihak atau kalangan lain.

“Jangan khawatir, bikinlah acara yang sekarang gara-gara COVID-19 juga sangat sulit bagi yang sulit. Tetapi (bikin acara kesenian, red.) juga dengan disiplin protokol (kesehatan, red.) yang baik, ikut aturan-aturan kesehatan. Ini peluang yang luar biasa,” katanya. (lna)

Irul Kebonkliwon, Bibit Tanaman dan Cita-citanya untuk Desa

Irul Kebonkliwon, Bibit Tanaman dan Cita-citanya untuk Desa

Irul Kebonkliwon sukses jualan bibit tanaman online

Cerita dari Mas Agung Purwandono saya mengenalnya pertama kali 5 tahun yang lalu. Saat itu bersama pekebun buah tin di Yogya, kami mendatangi rumahnya di Dusun Kebonkliwon, Kelurahan Kebonrejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Bisa dikatakan, sosoknya yang memberi warna pada dusunnya menjadi seperti sekarang ini. Dikenal sebagai sentra bibit buah dan tanaman di seluruh Indonesia.

Kontak Irul Kebonkliwon 085227632222

Ketika saya menghubunginya, Minggu (28/3/2021) yang pertama saya tanyakan bagaimana kabar pohon durian Musang King di rumahnya. Tentu saja ini bercanda. Saya bertanya tentang kondisinya dan keluarganya. Juga bertanya, kapan wawancaranya dengan Andi F Noya di acara Kick Andy akan tayang di Metro TV.

Di acara Kick Andy Show

Terakhir saya jumpa darat dengan Muh Khoirul Saleh atau akrab dipanggil Irul ini tiga tahun lalu. Karena lekatnya dia dengan nama dusunnya, laki-laki yanglahir 5 Januari 1975 ini juga dikenal  dengan nama Irul Kebonkliwon.

“Sudah habis. Kemarin juga ada yang duri hitam, koe ra rene,” jawabnya tertawa ketika saya tanya kabar durian Musang King di kebunnya. Setahun lalu, situasi pandemi membuat saya tidak berani kemana-mana. Tiga tahun lalu ia menunjukan pohon durian Musang King yang usianya baru tiga tahun di kebunnya sedang belajar berbuah. Durian khas Malaysia yang karena enaknya dihargai selangit itu, oleh petani-petani Kebonkliwon berhasil diperbanyak dengan mudah.

Saya hakul yakin, bibit-bibit durian yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia itu sebagian berasal dari kampung ini. Petani di Kebonkliwon sangat hebat dalam melakukan okulasi. Okulasi adalah peningkatan kualitas mutu tanaman dengan cara menempelkan kulit pohon dengan mata tunas ke pohon yang lain. Hasilnya, tanaman yang memiliki perpaduan sifat unggul serta cepat berbuah.

Soal kehebatan petani di Kebonkliwon dalam melakukan okulasi itu saya punya cerita. Sekitar lima tahun lalu, demam buah tin atau juga disebut buah ara, ‘kelas ningrat’ alias yang berharga mahal sedang banyak peminatnya. Petani di Kebonkliwon mengimpor batang atau ranting pohon tin yang panjangnya tak lebih dari 10 cm, dengan 3-5 mata tunas. Impornya pun dari negara-negara empat musim di Eropa, misalnya Spanyol.

Tentu saja harganya jutaan rupiah. Sampai di Kebonkliwon, mata tunas yang ada kemudian di tempel di pohon tin kelas ‘jelata’ yang harganya puluhan ribu rupiah. Dan ketika tunas tersebut tumbuh menjadi tanaman baru, maka akan mewarisi gen ‘kelas ningrat’. Harga jualnya juga menjadi berkali lipat dari yang jenis kelas rakyat jelata.

Saya ada guyonan, ibaratnya ada ranting tanaman langka yang patah lantas jatuh di depan orang-orang Kebonkliwon, tidak berapa lama tanaman itu akan menjadi banyak.

“Minimal di sini tiap orang sehari bisa melakukan 200-an okulasi, kalau yang sudah ahli bisa melakukan 500 okulasi setiap hari,” kata Irul waktu itu.

Sekarang, sentra penjualan bibit tanaman tidak lagi hanya di Kebonkliwon saja tapi meluas se-kecamatan Salaman, Magelang. Ini tidak lepas dari sentuhan Irul yang mengenalkan jualan online ke masyarakat Kebonkliwon.

Berawal tahun 2010

Tahun 2010 adalah titik balik kehidupan Irul dalam memulai bisnis tanaman. Waktu itu, Irul merasa hidupnya tidak tenang. Waktunya habis di jalan karena ikut multi level marketing (MLM). Ia pindah haluan dengan mencoba trading forex. Tapi hati suami dari Dewi Eliyana dan ayah Habibul Haq Kadvi, Nayla Bilqis maritza’adah dan Shaqila Almahira Padmasari justru selalu tegang. Hidupnya tidak tenang.

Ketika pulang ke kampung halamannya di Kebonkliwon ia melihat potensi jual beli bibit tanaman yang sudah ada sejak ia kecil. Saat itulah ia berpikir untuk membuka usaha yang memungkinkan ia bisa bertemu dengan anak istrinya setiap hari, sekaligus memberikan ketenangan batin.

Irul menginspirasi warga di dusunnya untuk jualan bibit tanaman khususnya buah, dengan cara online. Foto dok Irul

Awalnya ia berjualan bibit secara konvensional. Kemudian seorang kawan di Semarang mengenalkannya jualan online melalui media sosial terutama Facebook, Twitter serta melalui blog. Irul membutuhkan waktu 6 bulan sampai kemudian ada yang membeli bibit tanamannya. “Saya ingat, itu bulan November 2010, ada 10 bibit buah yang terjual,” kata Irul.

Irul belajar terus bagaimana agar jualan lewat online bisa efektif. Saat itu, hanya dia di Kebonkliwon yang jualan memanfaatkan media sosial. Pesanan kian laris dari berbagai daerah. Namun, ia juga pernah ditipu oleh pembeli. Sebanyak 10 ribu bibit tanaman tidak dibayar oleh pembeli, yang dibayar ongkos transportasinya saja.

Bermaksud menyelesaikan masalah tersebut, Irul mendatangi rumah pembeli yang ada di luar kota. Namun, ia terkejut karena rumah pembeli bibit tanamannya memprihatinkan. Ia tidak jadi menagih, justru memberikan uang saku untuk anak orang yang menipunya itu.

Melihat potensi jualan online yang menggiurkan, Irul kemudian mengajak anak muda di kampungnya belajar jualan online. Ia melihat anak-anak muda cuma nongkrong di pos ronda. Awalnya sangat sulit. “Mereka lebih suka kerja harian di sawah, karena langsung dapat bayaran, sementara jualan lewat online belum tentu laku,” katanya.

Dengan sabar, Irul membimbing teman-temannya. Ia cuma meminta mereka memotret bibit tanaman. Lewat akun facebooknya, foto bibit buah itu ia tawarkan. Ternyata langsung laku. Mulai dari situ, anak-anak muda di tempat itu tertarik untuk jualan online. Sekarang masih banyak orang-orang di Kebonkliwon yang nongkrong sambil pegang hape. Namun, mereka bukan sedang main game, tapi sedang menawarkan jualannya.

“Sekarang malah sulit cari tenaga di sawah untuk menyiapkan bibit tanaman karena kebanyakan mereka milih jualan online,” kata Irul tertawa. Demam jualan online bibit tanaman itu bukan hanya terjadi di Kebonkliwon, sekarang menjalar ke seluruh Kecamatan Salaman yang terdiri 20 desa. Tiga tahun lalu, Irul mendata, di Kebonkliwon ada 100 orang yang berjualan secara mandiri. Jika digabung dengan dusun-dusun sekitarnya ada 200 penjual. Maka sekarang ia memastikan jumlah orang yang jualan bibit tanaman lewat online berkali lipat.

Para penjual tanaman itu, tidak perlu repot-repot datang ke tempat ekspedisi untuk mengantar tanaman. Justru berbagai jasa ekpedisi yang datang menjemput tanaman yang akan dikirim. Penjual tanaman berasal dari beragam usia. Saya melihat misalnya seorang ibu yang menenteng dua tanaman buah di kedua tangannya membawanya ke tempat packing sekaligus tempat ekspedisi mengambil tanaman.

“Sekarang bahkan ekspedisi datang dengan truk dan mengantar hanya ke satu daerah, misalnya ada truk yang langsung mengantar ke, Jambi, Jawa Barat, Medan, ke satu daerah saja, karena pesanan ke daerah itu memang banyak,” kata Irul. Salah satu kenaikan taraf hidup masyarakat di Kebonkliwon terlihat saat belum pandemi Covid 19. Irul dan teman-temannya banyak menggelar kegiatan yang berhubungan dengan tradisi. Biayanya didapatkan dari gorong royong penjual bibit tanaman di kampungnya.

Coba tanaman vanili dan tanaman padi di paralon

Awal-awal pandemi, Irul sempat membuat heboh karena ia menanam padi dengan metode yang hidroganik , yaitu perpaduan hidroponik dan tanpa bahan kimia, atau organik di atas kolam ikannya. Kolam itu sebenarnya untuk menampung air yang digunakan untuk menyiram berbagai jenis tanaman di sekitar rumahnya. Hasilnya cukup bagus, sehingga banyak mahasiswa yang datang ke rumahnya untuk belajar.

“Saya hanya ingin menunjukan, jangan sampai kita punya lahan itu kosong, tidak bisa dimanfaatkan,” kata Irul.

Saat ini, Irul tengah merintis program penanaman vanili, tanaman menjalar berbentuk polong, berisi biji harum yang dikeringkan sebagai pengharum makanan. Tanaman ini dijuluki juga dengan emas hijau karena harganya yang mahal. Irul berharap di desa-desa warga menanam tanaman ini di lahan kosong dekat rumahnya. Tanaman ini tidak membutuhkan lahan yang luas. Bisa ditanam di samping rumah, depan rumah, belakang rumah bahkan atap rumah.

Kebun percontohan vanili di rumah Irul. Foto dok. Irul

Di rumahnya ia sedang membuat kebun percontohan. Bekerjasama dengan instansi pertanian di Magelang, ia tengah menanam 100 bibit. Rencananya dari 100 bibit tersebut  akan menghasilkan bibit-bibit yang lebih banyak dan akan dibagikan ke masyarakat di Salaman.

Ia berharap tanaman itu bisa jadi tabungan warga. “Sekilo vanili basah harganya Rp 300 ribu, kalau kering sekilo bisa Rp 6 juta. Orang-orang bisa menanam di kebunnya yang kecil.  Kalau panen bisa tidak langsung dijual, tapi disimpan, kalau butuh uang baru dijual,” kata Irul yang belajar vanili dari temannya di Temanggung. Ia ingin suatu hari, Salaman bisa jadi salah satu sentra vanili.

Negara kuat berawal dari desa

Saya bertanya kepada Irul, sebenarnya dengan segala kesuksesan yang sudah didapat, apa yang masih ia cari. Secara pribadi, Irul merasa sudah cukup dari bisnis bibit tanaman buah maupun tanaman langka yang banyak ia koleksi dari rumahnya. Namun ia melihat sesuatu yang lebih luas, nasib desa ke depan. Ia yakin kekuatan negara itu ada di desa. Jika desa kuat, negara pasti kuat. Jika masyarakat di desa punya pendapatan cukup, maka itu menjadi kekuatan ekonomi nasional. “Saat pandemi datang, desa bisa dikatakan tidak terpengaruh sama sekali karena kebanyakan hidup dari pertanian. Permintaan produk pertanian dan peternakan tidak turun,” katanya.

Karenanya ia punya cita-cita, lahan-lahan kosong di manapun sebaiknya ditanami. Kalau ada yang punya lahan kosong, tanah itu bisa dipasrahkan ke tetangga atau teman untuk diolah sehingga tetap memberikan pendapatan dan bermanfaat.

Ia sendiri sudah memulai dengan mengajak orang-orang yang punya lahan kosong dikerjasamakan dengan sharing profit. Irul dan teman-temanya yang sudah berpengalaman akan menggarap lahan tersebut sehingga bisa memberikan tambahan pendapat kepada pemilik lahan. Saat ini sudah ada beberapa desa yang melakukan kerjasama dengan Irul. Seperti yang ia kemukakan, ia berharap negara kuat karena desa yang siap dan kuat

Wayang Galvalum Kreasi Seniman Sujono Keron Pesanan Irul Kebonkliwon

Sujono, seniman asal Keron Krogowanan Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang, mengerjakan wayang galvalum di rumahnya

BERITAMAGELANG.ID – Seniman asal Dusun Keron Desa Krogowanan Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang, Sujono, saat ini sedang disibukkan dengan pembuatan wayang pesanan Irul Kebonkliwon. Hanya saja, wayang yang dibuat bukan berbahan dasar kulit lembu, melainkan dari galvalum atau baja berkualitas tinggi yang sifatnya ringan.

Sudah dua bulan lamanya, Jono, panggilan akrabnya berkutat membuat wayang galvalum pesanan Irul Kebonkliwon. Sebanyak 101 wayang berbagai ukuran dibuatnya. Dari yang terkecil ukuran 50 cm hingga paling besar ukuran 2 meter. Dari 101 yang dibuat, 100 diantaranya merupakan tokoh wayang dari epos Mahabarata, dan satu buah gunungan.

Kontak Irul Kebonkliwon 085227632222

Pria berambut gondrong yang juga pimpinan sanggar seni Saujana ini mengatakan, wayang galvalum ini merupakan pesanan dari temannya sesama seniman, Muh Khairul Sholeh dari Kebonkliwon, Kebonrejo Salaman. 

Irul, nama akrab pemesan, sedang merintis objek wisata edukasi Krandan Ciblon Papringan di desanya, dan menginginkan ada hiasan luar dengan nuansa budaya. 

“Dari sanalah ide muncul untuk membuat tokoh pewayangan dari bahan galvalum agar tahan lama,” jelas Jono yang ditemui di rumahnya, Rabu (20/1/2021).

Menurut Jono, galvalum tidak akan keropos meski diterpa hujan ataupun panas sepanjang hari. Ide wayang galvalum inipun langsung disetujui oleh pemesan.

Untuk pengerjaan wayang galvalum, Jono dibantu istrinya Rubiyati (45) dan dua orang putranya, Gading Indra (21) dan Bondan Pratoto (13). Ini sekaligus untuk mengisi waktu luang kedua putranya yang masih sekolah secara daring.

Untuk membuat setiap wayang, maka dirinya yang membuat sket dengan menggunakan spidol permanen. Sedangkan anak dan istri melakukan pengguntingan.

“Untuk finishing saya lakukan sendiri, seperti memperjelas karakter wayang,” katanya.

Proses pembuatan wayang galvalum ini tidak serumit bila membuat wayang berbahan dasar kulit maupun kertas karton. Karena untuk  wayang galvalum ini, tidak sampai detail sunggingan atau perwarnaanya.

Wayang galvalum hanya diberi warna abu-abu dan diberi detail hitam di beberapa bagian untuk mempertegas karakter. Dalam  proses mewarnai tubuh wayang, ia menggunakan cat epoxy atau cat dasar yang biasa digunakan untuk cat dasar mobil. Sedangkan untuk beberapa detil tubuh dari tokoh wayang tersebut ia menggunakan cat warna hitam.

Sementara itu, untuk membuat 100 tokoh wayang dan satu buah gunungan, Jono mengaku menghabiskan sekitar 125 meter galvalum dengan ketebalan 0,3 milimeter. Selain itu juga menggunakan sebanyak 50 batang besi cor  beton untuk dijadikan rangka wayang-wayang tersebut.

Ia juga berkonsultasi dengan kakaknya yang seorang dalang, Ki Hadi Suroto, dalam setiap membuat tokoh wayang sehingga lebih mirip. 

“Saya berkonsultasi dan sekaligus belajar menghafalkan tokoh-tokoh wayang dari kakak saya yang kebetulan seorang dalang,” ungkapnya.

Jono menyebut, dari 100 wayang yang dibuat, ada beberapa berukuran cukup besar dan tinggi, yaitu wayang buto berukuran tinggi 2 meter dan lebar 90 cm. Untuk wayang berukuran 50 cm, beberapa diantaranya ada Srikandi, Dewi Kunti, Durgo, punokawan dan sebagainya.

Dari sejumlah itu, ternyata Jono mengaku cukup kesulitan saat membuat gunungan. 

“Tingkat kesulitannya cukup tinggi, karena memang rumit,” ujarnya.

Gunungan yang dibuat menggambarkan suasana wisata Krandan Ciblon Papringan di Dusun Krandan. Di sana digambarkan ada seorang rondo (janda), atau asal-usul nama Dusun Krandan. Selain banyak pohon, sawah juga ada tempat ‘ciblon’ atau tempat pemandian. 

“Kita bikin karakter janda, pohon, pemandian, dan semuanya menggambarkan suasana dusun. Gunungan ini menceritakan objek wisata Krandan Ciblon Papringan yang sedang dibangun di Dusun Krandan,” terangnya.

Jono meski tinggal di lereng gunung Merbabu, ia seorang seniman yang melek media sosial. Wayang-wayang hasil karyanya, sering ia posting di media sosial, seperti FB dan IG. Dari sanalah, ia kemudian dipertemukan dengan salah satu perusahaan galvalum di Surabaya. Perusahaan itu sudah langsung menghubungi dan akhirnya tertarik untuk bekerja sama. 

“Dalam waktu dekat kita akan bertemu dan insya Alloh akan melakukan kerja sama,” paparnya.

Perusahan galvalum itu, memintanya dibuatkan seni instalasi serta bentuk-bentuk lain yang mempunyai ciri khas Surabaya dan nantinya akan dipasang di sebuah taman di wilayah itu.

Di sisi lain, Jono mengaku sebelumnya pernah membuat pesanan karakter serangga juga dari bahan galvalum. Pesanan dari sebuah hotel di Jakarta yang menginginkan hiasan yang tahan lama.

Bukan dari Kulit, Seniman Magelang Ciptakan Wayang dari Bahan Anti Karat, Pesanan Irul Kebonkliwon

Bukan dari Kulit, Seniman Magelang Ciptakan Wayang dari Bahan Anti Karat!

Seniman asal Magelang Sujono menciptakan wayang berbahan galvalum.(Suara.com/Angga Haksoro Ardi)

SuaraJawaTengah.id – Batas seni adalah imajinasi. Selama seniman mampu mengksplorasi alam kreativitasnya, imajinasi sangat mungkin meraba batas-batas yang jauh.   

Seperti dilakukan seniman serba bisa Sujono Keron. Jika wayang biasanya terbuat dari kulit atau karton, Sujono menciptakan wayang berbahan galvalum. Logam anti karat.

Suyono hendak menciptakan wayang yang tidak hanya memperhatikan detail tatah sungging tapi juga tahan lama. “Tahan terhadap hujan. Cuaca tetap bisa terkendali. Anti karat,” kata Sujono saat ditemui di Sanggar Saujana, Dusun Keron, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.

Wayang galvalum cocok digunakan di Magelang yang cuacanya cenderung basah dengan curah hujan lumayan tinggi. Terutama di bulan Oktober-Februari, Magelang kerap diguyur hujan dengan intensitas sedang hingga deras.

Menurut Sujono, wayang berbahan galvalum ini adalah pesanan Muh Khoirul Sholeh (Irul), pemilik perkebunan buah dan padi hidro organik (hidroganik) di Dusun Kebonkliwon, Salaman.

“Saya ketemu Pak Irul: ‘Pak Jono aku pengen wisata sing nuansanya budaya kita tetap muncul. Wayang opo sing awet?’. Menurut saya galvalum. Cocok. Saya kemudian diminta membuat sampel.”

Irul memesan 100 karakter wayang ditambah 1 gunungan. Semua wayang berukuran besar. Paling besar adalah karakter butho dengan tinggi 2 meter x 90 centimeter. “Paling kecil 50 centimeter,”kata Sujono.

Irul bersama Kelompok Usaha Bersama (KUB) Dadi Berkah, sedang membangun wisata edukasi Krandan Ciblon Papringan di Dusun Krandan, Desa Kebonrejo, Salaman. Rencananya wayang galvalum akan dipajang di gerbang masuk lokasi wisata edukasi tersebut.

“Nanti wayang dijejer di gerbang masuk. Saya ambil karakter wayang cerita Mahabarata.”

Tidak semua karakter wayang cerita Mahabarata digarap Sujono menjadi wayang galvalum. Dia hanya memilih 100 karakter wayang dari sekitar 125 hingga 150 tokoh dalam cerita Mahabarata.

“Wayang satu kotak (satu seri cerita) ada yang 125 sampai 150 karakter. Misal Janoko itu kalau lebih tua namanya beda (juga beda bentuk). Satu karakter itu bisa tiga bentuk wayangnya. Ini saya ambil satu saja,” ujar Sujono disela proses pengecatan wayang.

Pengecatan wayang menggunakan cat semprot, seperti yang biasa digunakan untuk mengecat mobil. Sebelumnya wayang diberi lapisan dasar flintkote untuk memudahkan pengecatan.

“Kalau tidak pakai cat dasaran akan mudah tergores. Tapi kalau sudah disemprot lapisan flintkote, cat akan lebih melekat dan tahan terhadap goresan.”

Secara umum proses tatah wayang galvalum sama dengan pembuatan wayang kulit biasa. Sujono menggambar pola wayang pada lembaran galvalum untuk kemudian dipotong dan ditatah.

Sujono menggunakan mata pahat yang biasa digunakan pada tatah ukir kayu. Dia memilih mata pahat yang mengandung lebih banyak kandungan baja karena media yang digunakan adalah galvalum ukuran 0,3 milimeter.  

“Saya langsung buat sket di galvalum. Tidak pakai mal. Tinggal saya buat ukuran untuk menyesuaikan karakter bentuk kaki dan badan. Ukurannya rata-rata 3 kali lipat wayang kulit biasa,” ujar Sujono.

Dari segi detail, Sujono mengaku lebih sulit menatah wayang kulit dibandingkan wayang galvalum. “Lebih sulit wayang kulit karena lebih detail. Tapi ini bahaya di tangan. Banyak bahaya kena goresan karena material keras jadi harus hati-hati.”

Proses pembuatan wayang galvalum sudah masuk tahap finishing atau pengecatan. Dibutuhkan waktu 3 bulan pengerjaan hanya dengan dibantu istri dan putra sulung Sujono.   

Setelah seluruh wayang selesai dibuat, Sujono sendiri yang akan menyeting tata letaknya di gapuran objek wisata edukasi di Dusun Krandan. “Rencana saat menyeting wayang galvalum ini saya nanti akan bikin ritual semacam kirab,” tutur Sujono menutup obrolan sore itu.

Kontributor : Angga Haksoro Ardi

Jaga Ketahanan Pangan Keluarga, Irul Tanam Padi dengan Media Peralon

PERALON. Menanam padi media peralon, milik warga Kebonkliwon RT 09/RW 06, Desa Kebonrejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, cocok diaplikasikan dilahan terbatas.

 PERALON. Menanam padi media peralon, milik warga Kebonkliwon RT 09/RW 06, Desa Kebonrejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, cocok diaplikasikan dilahan terbatas. 

MAGELANGEKSPRES.COM,MAGELANG – Lahan sempit bukan menjadi alasan untuk tidak bercocok tanam. Dengan memanfaatkan lahan di samping rumahnya, Muh Khoirul Soleh (46) warga Kebonkliwon RT 09/RW 06, Desa Kebonrejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang menanam padi. Caranya mengembangkan tanam dengan media peralon.

Dengan memanfaatkan lahan terbatas, metode tersebut dikenal dengan sebutan higdroganik. Ini menjadi solusi ketahanan pangan keluarga.

Pria alumni Manajemen Pemasaran, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Magelang ini menanam padi dengan hidroganik di atas kolam ikan di samping rumahnya. Kolam ikan tersebut berukuran 19 x 5 meter. Sedangkan media hidroganik yang digunakan ukuran 6 x 12 meter.

“Menanam padi hidroganik karena masih menggunakan media kompos dan sekam bakar, tidak seperti hidpronik. Kalau hidroponik murni air, ibaratnya di situ ada media semai,” ucap Irul, panggilan akrabnya.

Menurut Irul, awalnya hanya coba-coba setelah melihat di media  menanam padi dengan hidroganik tumbuh. Kemudian, hasil panennya menurut informasi bisa empat kali lipat dari konvensional (menanam padi di sawah). Untuk itu, dirinya mencoba dengan apa yang dimilikinya. Salah satunya memiliki kolam yang biasanya airnya digunakan untuk menyiram bibit tanaman.

“Kolam itu biasanya saya gunakan untuk menyiram bibit, terus di atasnya nggak ada apa-apanya. Kolam saya kasih ikan, saya coba alternatif pakai itu (menanam padi) siapa tahu bisa menopang ketahanan pangan minimal keluarga,” tutur Irul.

Adapun media tanam tersebut menghabiskan 24 peralon. Sedangkan untuk padi yang ditaman ada dua jenis yakni IR 64 yang berusia 1 bulan lebih 10 hari dan satunya jenis padi merah putih yang berusia 1 bulan. Untuk jarak tanam 25 cm dan air peralon menyala terus menerus.

Keuntungan dengan model tanam tersebut, menurut Irul, kontinuitasnya lebih banyak. Untuk menanam padi secara konvensional, dua sampai tiga kali maksimal ditanami dalam setahun. Kemudian dengan media ini nantinya bisa lima kali jika dimaksimalkan.

“Mengapa bisa lima kali, karena seketika umur sudah 70 hari, saya sudah bikin semai. Begitu panen langsung dimasukan lagi nggak usah ngluku (membajak), nggak usah macul (mencangkul). Jadi ada hemat  20 hari, terpangkas 20 hari, saya punya bibit lagi,” ungkap Irul

Selama menanam padi dengan model hidroganik, gulma maupun hama, hanya walang, wereng dan burung emprit. Untuk gulma tidak ada karena media tanamnya kompos dan sekam bakar dengan perbandingan 3:1.

Untuk Teknis sirkulasi air, menurut Irul, setiap hari air menyala terus. Ia memakai pompa akuarium yang mengambil dari kolam terus disalurkan menuju semua peralon. Nantinya, air akan sampai ujung peralon dan masuk kembali ke kolam dengan air yang sudah bersih.

Menanam model tersebut, cocok bagi mereka yang tidak memiliki lahan, juga lokasi yang susah air. Jika yang air susah bisa membuat kolam dengan terpal, diisikan ikan maupun lele, nantinya di atasnya digunakan untuk menanam padi.

Irul menyebutkan, untuk membuat media tanam ini totalnya menghabiskan sekitar Rp7 juta. Hal tersebut untuk membeli peralon ukuran 4 inch, baja ringan dan cup menanam bibit padi.

Sekalipun baru mencoba menanam padi dengan hidroganik, Irul mengaku, sejauh ini sudah ada yang memesan untuk dibuatkan media tanam tersebut. Pesanan tersebut datang dari Bogor, Jawa Barat.

“Mereka tahu dari akun facebook saya. Saya belajar autodidak, langsung dipratekkan langsung. Pesanan dari Bogor dengan ukuran 10 x 10 meter dua tempat. Setelah lockdown lepas, kemungkinan kita langsung ke sana,” papar Irul.(cha)

Tak Lagi di Sawah, Menanam Padi di Atas Pipa-pipa Parralon Ala Petani Magelang

Petani bibit tanaman buah dan hias, Muh Khoirul Soleh (46), dari Dusun Kebonkliwon RT 09/RW 06, Desa Kebonrejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang yang menerapkan sistem tanam padi hidroganik dan memanfaatkan ruang kosong di atas kolam ikan rumahnya, Senin (8/6/2020)

Petani bibit tanaman buah dan hias, Muh Khoirul Soleh (46), dari Dusun Kebonkliwon RT 09/RW 06, Desa Kebonrejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang yang menerapkan sistem tanam padi hidroganik dan memanfaatkan ruang kosong di atas kolam ikan rumahnya,

Laporan Reporter Tribun Jogja, Rendika Ferri K

TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG – Menanam padi kini tak harus dengan menggunakan lahan yang luas dan dengan usaha yang keras seperti mencangkul dan lain-lain.

Lahan kosong di sekitar rumah pun dapat digunakan untuk menanam tanaman pangan ini.

Sistemnya dengan menggunakan hidroganik. Hidroganik ini campuran antara hidroponik dan organik.

Tanaman padi ditanam di dalam cup plastik kompos dan sekam bakar, diletakkan di pipa-pipa peralon yang teraliri air dan nutrisi dari sumber air kolam ikan.

Salah seorang warga di Dusun Kebonkliwon RT 09/RW 06, Desa Kebonrejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, bernama Muh Khoirul Soleh (46), berhasil menerapkan model pertanian urban tersebut.

Di atas kolam ikan di samping rumahnya, ia menanam padi berjajar di atas peralon dengan air yang terus mengalir dari kolam ikan dan nutrisi untuk padi yang terpasok dari kotoran ikan.

Kolam ikannya berukuran 19 x 5 meter dengan ikan nila. Atasnya ditanami padi sistem hidroganik berukuran 6 x 12 meter.

Peralon dirancang sedemikian rupa untuk mengalirkan air sekaligus media untuk tanaman padi sebanyak 24 buah.

Tanaman padi sendiri ditanam dengan media tanam kompos dan sekam bakar perbandingan 3:1 di dalam cup plastik.

Tanaman dan medianya diletakkan di lubang yang sudah dibuat di sepanjang peralon.

Sirkulasi air terus berjalan dibantu dengan alat pompa air dengan daya watt listrik kecil yang biasa untuk akuarium.

Pompa akan mengalirkan air secara terus menerus. Air yang masuk semula kotor, akan tersaring oleh akar tanaman padi, dan keluar menjadi air bersih.

“Menanam padi hidroganik karena masih menggunakan media kompos dan sekam bakar, tidak seperti hidpronik. Kalau hidroponik murni air, ibaratnya disitu ada media semai,” kata Irul, saat ditemui di rumahnya, Senin (8/6/2020).

Melalui model pertanian padi semacam itu, akan banyak keuntungan yang didapatkan.

Diantaranya, tidak perlu usaha yang keras untuk mencangkul maupun menyiapkan lahan.

Lahan yang dipakai menanam yakni menggunakan tempat yang telah dibuat tersebut.

Waktu yang terbuang untuk penyiapan lahan dapat dihemat dan dialokasikan untuk masa panen yang lebih cepat, karena tempat untuk menanam sudah tersedia. Petani hanya tinggal menyemai bibit padi pada media tanam yang sudah ada.

Model seperti ini juga diklaim hemat pupuk, karena kotoran ikan dapat menyuplai nutrisi tanaman, selain adanya kompos dan sekam bakar yang sudah digunakan.

Pertanian ini organik tanpa bahan kimia.

Masa panen bahkan diklaim bisa sampai lima kali.

Kemudian, gulma juga jarang tumbuh. Penyakit tanaman relatif sedikit. Jika adapun, petani dapat melakukan penyemprotan dengan pestisida organik dengan bahan empon-empon dan bahan alami lainnya.

Pertanian model ini dinilai sebagai pertanian berkelanjutan.

“Kontinuitasnya lebih banyak, kalau konvensional panen paling dua sampai tiga kali maksimal satu tahun. Di situ, saya maksimalkan bisa lima kali. Kenapa bisa lima kali, karena seketika umur sudah 70 hari, saya sudah bikin semai. Begitu panen langsung dimasukan lagi nggak usah ngluku (membajak), nggak usah macul (mencangkul). Jadi ada hemat 20 hari, terpangkas 20 hari, saya punya bibit lagi,” ujar Irul.

Irul pun mengaku baru pertama mencoba menerapkan pertanian padi hidroganik ini. Ia awalnya hanya melihat dari media sosial soal sistem itu dan tertarik melakukannya juga.

Padi yang ditanam jenisnya IR64 dan merah putih. Usianya sudah sebulan lebih dan tinggal menunggu satu setengah bulan lagi untuk panen.

“Kolam ikan itu biasanya saya gunakan untuk menyiram bibit dan diatasnya itu tidak ada apa-apa. Saya pun mencoba alternatif menanam padi hidroganik ini siapa tahu bisa menopang ketahanan pangan minimal keluarga,” ujarnya.

Biaya yang dikeluarkan untuk membuat keseluruhan sistem hidorganik ini sekitar Rp 7 juta.

Biaya yang paling banyak dikeluarkan untuk membeli peralon ukuran 4 inchi dan baja ringan untuk penopang saja.

Setelah alat dan medianya terpasang, dapat digunakan terus menerus.

Model hidroganik ini dinilai cocok bagi mereka yang tidak memiliki lahan dan lokasi yang susah air.

Sistem pertanian ini berkelanjutan, dimana antara tanaman dan ikan semua saling menyokong satu sama lain.

“Semua saling menyokong dan semua bisa dipetik hasilnya. Ini sudah beras atau nasinya dari padi, ikan itu jadi lauknya, sayur juga sudah ada yang ditanam di sekitar kolam ikan. Sudah bisa untuk makan sehari-hari,” ujar Irul.(TRIBUNJOGJA.COM)

HIGDROGANIK, SOLUISI MENANAM PADI DI LAHAN TERBATAS

Wahyu HidayatKomoditas

BERITAMAGELANG.ID – Dengan lahan terbatas, seorang warga di Kabupaten Magelang sukses menanam padi di atas kolam ikan. Metode menanam padi unik menggunakan media peralon itu dikenal dengan sebutan higdroganik yang dapat menjadi solusi ketahanan pangan keluarga.
Ia adalah Muh Khoirul Soleh yang biasa disapa Irul warga Kebonkliwon RT 09/RW 06, Desa Kebonrejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang
Pria berusia 46 tahun ini menanam padi dengan hidroganik di atas kolam ikan di samping rumahnya. Kolam ikan tersebut berukuran 19 x 5 meter, sedangkan media hidroganik yang digunakan ukuran 6 x 12 meter. 
“Menanam padi hidroganik karena masih menggunakan media kompos dan sekam bakar, tidak seperti hidpronik. Kalau hidroponik murni air, ibaratnya di situ ada media semai,”Â� kata Irul saat ditemui, Senin (8/6/2020). 
Irul bercerita, awalnya hanya coba-coba setelah melihat di media  menanam padi dengan hidroganik tumbuh. Kemudian, hasil panennya menurut informasi bisa empat kali lipat dari konvensional (menanam padi di sawah). 
Untuk itu, ia mencoba dengan apa yang dimilikinya. Salah satunya memiliki kolam yang biasanya airnya digunakan untuk menyiram bibit tanaman. 
“Kolam itu biasanya saya gunakan untuk menyiram bibit, terus di atasnya nggak ada apa-apanya. Kolam saya kasih ikan, saya coba alternatif pakai itu (menanam padi) siapa tahu bisa menopang ketahanan pangan minimal keluarga,”tutur Irul yang alumni Manajemen Pemasaran, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Magelang, itu. 
Adapun media tanam tersebut menghabiskan 24 peralon. Untuk padi yang ditaman ada dua jenis yakni IR 64 yang berusia 1 bulan lebih 10 hari dan satunya jenis padi merah putih yang berusia 1 bulan. Untuk jarak tanam 25 cm dan air peralon menyala terus menerus. 
Keuntungan dengan model ini, kata Irul, kontinuitasnya lebih banyak. Untuk menanam padi secara konvensional, dua sampai tiga kali maksimal ditanami dalam setahun. Kemudian dengan media ini nantinya bisa lima kali jika dimaksimalkan. 
“Kenapa bisa lima kali, karena seketika umur sudah 70 hari, saya sudah bikin semai. Begitu panen langsung dimasukan lagi nggak usah ngluku (membajak), nggak usah macul (mencangkul). Jadi ada hemat  20 hari, terpangkas 20 hari, saya punya bibit lagi,” katanya. 
Selama menanam padi dengan model hidroganik, katanya, gulma maupun hama cuman walang, wereng dan burung emprit. Untuk gulma tidak ada karena media tanamnya kompos dan sekam bakar dengan perbandingan 3:1. 
Irul menyebutkan, untuk membuat media tanam ini totalnya menghabiskan sekitar Rp7 juta. Hal tersebut untuk membeli peralon ukuran 4 inch, baja ringan dan cup menanam bibit padi. 
Sekalipun baru mencoba menanam padi dengan hidroganik, Irul mengaku, sejauh ini sudah ada yang memesan untuk dibuatkan media tanam tersebut. Pesanan tersebut datang dari Bogor, Jawa Barat. 
“Mereka tahu dari facebook saya. Saya belajar autodidak, langsung dipratekkan langsung. Pesanan dari Bogor dengan ukuran 10 x 10 meter dua tempat. Setelah lockdown lepas, kemungkinan kita langsung ke sana,”Â� ujarnya seraya menyebut di kolam ada ikan nila.
Menyinggung sirkulasi air, kata dia, setiap hari air menyala terus. Ia memakai pompa akuarium yang mengambil dari kolam terus disalurkan menuju semua peralon. Nantinya, air akan sampai ujung peralon dan masuk kembali ke kolam dengan air yang sudah bersih. 
Menanam model ini, katanya, cocok bagi mereka yang tidak memiliki lahan, juga lokasi yang susah air. Jika yang air susah bisa membuat kolam dengan terpal, diisikan ikan maupun lele, nantinya di atasnya digunakan untuk menanam padi.
“Kotoran ikan tersaring di akar padi. Nanti air yang keluar dari peralon itu tambah bersih,” tutur Irul yang juga penjual berbagai bibit tanaman buah-buahan. 

Bisa Dicontoh, Menanam Padi Tanpa Harus di Sawah dengan Metode Hidroganik

Eko Susanto – detikNews

Muh Khoirul Soleh yang menaman padi dengan hidroganik di atas kolam ikan miliknya di Magelang, Senin (8/6/2020).

Muh Khoirul Soleh yang menaman padi dengan hidroganik di atas kolam ikan miliknya di Magelang, Senin (8/6/2020). (Foto: Eko Susanto/detikcom) Magelang 

Seorang warga Magelang, Muh Khoirul Soleh (46) memanfaatkan ruang kosong di atas kolam ikan untuk menanam padi. Metode tanam dengan media paralon tersebut dikenal dengan istilah hidroganik.

Pria yang disapa Irul ini menanam padi dengan hidroganik di atas kolam ikan nila yang berada di samping rumahnya, Kebonkliwon RT 09/RW 06, Desa Kebonrejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Kolam ikan tersebut berukuran 19×5 m, sedangkan media hidroganik yang dipakai ukuran 6×12 meter.

“Menanam padi hidroganik karena masih menggunakan media kompos dan sekam bakar, tidak seperti hidpronik. Kalau hidroponik murni air, ibaratnya di situ ada media semai,” kata Irul saat ditemui, Senin (8/6/2020).

Irul bercerita, awalnya dia hanya coba-coba setelah melihat di media tentang hidroganik. Dia tertarik karena hasil panen disebut bisa empat kali lipat dari metode konvensional atau menanam padi di sawah.

Akhirnya, Irul mencoba menanam padi dengan hidroganik dengan memanfaatkan kolam ikan di rumahnya.

“Saya kan punya kolam. Kolam itu biasanya saya gunakan untuk menyiram bibit, terus di atasnya nggak ada apa-apanya. Kolam saya kasih ikan, saya coba alternatif pakai itu (menanam padi) siapa tahu bisa menopang ketahanan pangan minimal keluarga,” tutur Irul.

Muh Khoirul Soleh yang menaman padi dengan hidroganik di atas kolam ikan miliknya di Magelang, Senin (8/6/2020).

Muh Khoirul Soleh yang menaman padi dengan hidroganik di atas kolam ikan miliknya di Magelang, Senin (8/6/2020). Foto: Eko Susanto/detikcom

Alumnus Manajemen Pemasaran, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Magelang itu menghabiskan 24 paralon sebagai media tanam padi. Untuk padi yang ditanam ada dua jenis yakni IR 64 yang berusia 1 bulan lebih 10 hari dan jenis padi merah putih yang berusia 1 bulan. Untuk jarak tanam 25 cm dan air paralon menyala terus-menerus.

Keuntungan dengan model ini, kata Irul, kontinuitasnya lebih banyak. Untuk menanam padi secara konvensional, dua sampai tiga kali maksimal ditanami dalam setahun. Sedangkan dengan hidroganik bisa lima kali jika dimaksimalkan.

“Kontinuitasnya lebih banyak, kalau konvensional kan paling dua sampai tiga kali maksimal satu tahun. Di situ, saya maksimalkan bisa lima kali. Kenapa bisa lima kali, karena seketika umur sudah 70 hari, saya sudah bikin semai. Begitu panen langsung dimasukkan lagi nggak usah ngluku (membajak), nggak usah macul (mencangkul). Jadi ada hemat 20 hari, terpangkas 20 hari, saya punya bibit lagi,” katanya.

Selama menanam padi dengan hidroganik, katanya, hama yang menyerang adalah walang, wereng dan burung emprit. Untuk gulma tidak ada karena media tanamnya cuma kompos dan sekam bakar dengan perbandingan 3 banding 1.

“Ini bisa dibilang organik. Penyemprotan pakai organik. Media tanam cuma kompos dan sekam bakar dengan perbandingan 3 banding 1. Untuk penyemprotan dengan empon-empon dan lain-lainnya,” tutur Irul.

Irul menyebutkan, untuk membuat media tanam ini total dia menghabiskan dana sekitar Rp 7 juta, yakni untuk membeli paralon ukuran 4 inci, baja ringan dan cup menanam bibit padi.

Sekalipun baru mencoba menanam padi dengan hidroganik, Irul mengaku sejauh ini sudah ada yang memesan untuk dibuatkan media tanam tersebut. Pesanan tersebut datang dari Bogor, Jawa Barat.

“Ini sudah ada pesanan dari Bogor untuk dibuatkan. Mereka tahu dari Facebook saya. Saya belajar autodidak, langsung dipraktikkan langsung. Pesanan dari Bogor dengan ukuran 10×10 meter dua tempat. Setelah lockdown lepas, kemungkinan kita langsung ke sana,” ujarnya.

Menyinggung sirkulasi air, kata dia, setiap hari air menyala terus. Ia memakai pompa akuarium yang mengambil dari kolam terus disalurkan menuju semua paralon. Nantinya, air akan sampai ujung paralon dan masuk kembali ke kolam dengan air yang sudah bersih.

“Kotoran ikan tersaring di akar padi. Nanti air yang keluar dari paralon itu tambah bersih,” tutur Irul.

Menanam model ini, katanya, cocok bagi mereka yang tidak memiliki lahan dan lokasi yang susah air. Bisa membuat kolam ikan dengan terpal, nantinya di atasnya digunakan untuk menanam padi.

Inspirasi Siang Dari Warta Kusuma 

Inspirasi Dari Warta Kusuma tentang Irul Kebonkliwon

Kontak Irul Kebonkliwon 085227632222

Inspirasi siang
Siapa bilang petani itu kampungan dan ketinggalan jaman. Laki laki satu ini contoh nya . bertempat tinggal di Kebonkliwon, Kebonrejo, Salaman, Magelang, Jawa Tengah.
Sosok Irul Kebonkliwon ini, petani kampung juga, yang sejak dahulu akrab dengan tanaman buah semuanya mulai durian, kelengkeng , mangga, dll . beliau ini juga berkebun tin.
Gambar yang saya paparkan semoga menjadikan kita ingin tambah mengenal sosok beliau. Pribadi yang tidak banyak omong ini ternyata telah menikmati manisnya hasil berkebun tin. Rumahnya yang lumayan cakep, mobil plat merah dan koleksi andalannya sebagai atm hidup.

Koleksi


Bapak Irul Kebonkliwon, adalah teman mas Sobikhan Nursery teman pak Irdiansyah teman saya Warta Kusuma dll. Beliau juga senior juga dalam berkebun tin.
Saatnya tes matematika, jika pak Irul adalah petani kampung, ia hendak menjual 10 tin martinenca remada fress cangkoknya ke pasar . dengan harga satu cangkokan nya 2 juta, berapa yang didapatkan pak Irul sebagai petani kampung ?

Indukan pohon tin
Fres cangkok

Coba murid murid semua, masih soal matematika.
Pak Irul punya kebun tin bermacam macam jenis, dengan rata rata harga 100 ribu per pot hidup sudah mapan, sedang dikebun pak Irul ada ratusan pohon tin bermacam macam. Berapa jumlah aset pak Irul yang siap di jual jika mau butuh duwet….
Udah, tak usah iri. Semua itu udah ditakar dan dijatah robb kita. Kita hanya berusaha Alloh yang menentukan. Tapi tanpa usaha kita tak akan dapat apa apa, menanam tin tidak sulit. Sudah banyak gurunya Qing PI Tin Nursery Sulis Kbt Surabaya Bambang Murdianto Bondak Altazani Mahendra Putra Putra Garuda Div Garden Yusuf Mojofig Tamam Muslih Nambi Sanse Sonny Harsono Oei Bayu Buce Reza Agung orang Jawa Timur 
Jawa Tengah Saifudin Haffa Joko Supriyanto Kebun Hijau warta kusuma Amin Mustofa Abdul Rosyid irdiansyah Dwi Cahyo om fai Rosita Asp Rahmiyati Mia salamun almousa dll
Jawa barat Asep Bezo adit Saung Hejo Ciseeng kebun tin cikarang karawang juga banyak hanya karena kebodohan dan sempitnya pengetahuan penulis.
Beretani tin coba menjadi solusi cari penghasilan tambahan dengan cara gampang dan asyik, sebagai mana slogan kita fig for fun. Udah asyik banyak teman